a a a a a a a a a
Jadi PahamJadi Paham
Jadi PahamLogo Header  Footer

Artikel

Pembagian Harta Warisan Menurut Adat, Perdata dan Syariat

Pembagian Harta Warisan Menurut Adat, Perdata dan Syariat

Pembagian harta warisan sering kali menjadi topik yang sensitif dan hal ini kerap memicu pertikaian antar anggota keluarga. Ketika ada pihak merasa pembagiannya tidak adil, tuntutan pun muncul hingga akhirnya merusak keharmonisan. 

Menghindari pertikaian yang bisa saja terjadi dalam keluarga Anda, maka sangat penting untuk mengetahui soal pembagian warisan ini dari segi hukum. Di Indonesia, pembagian warisan mengacu pada tiga hukum, yaitu adat, perdata dan Islam. 

Lantas, bagaimana sebenarnya pembagian warisan ini dari perspektif hukum adat, negara dan syariat? Untuk lebih memahaminya, Anda bisa simak dulu pembahasan lengkapnya ini. 

Pembagian Harta Warisan Menurut Hukum Adat

Karena Indonesia memiliki banyak suku, jadi wajar jika pembagian warisan pun bisa mengikuti hukum adat. Pembagiannya menganut sistem kekerabatan, yaitu pola dari hubungan keluarga. 

Ada tiga golongan dari sistem kekerabatan yang menjadi acuan pembagian warisan, yaitu:

1. Patrilineal

Hukum adat patrilineal banyak diterapkan di daerah Lampung, NTT, Nias, dan sekitarnya. Pembagiannya berasal dari garis pihak Bapak, karena adatnya, pria lebih menonjol dari perempuan. 

Itu artinya, jika orang tua meninggal dunia, maka ahli warisnya adalah anak laki-laki, baik itu sulung atau bukan. 

2. Matrilineal

Kebalikan dari patrilineal, dalam sistem matrilineal justri pihak ibu yang menjadi acuannya. Pewaris perempuan akan menonjol daripada pria, dan sistem ini berlaku untuk daerah Minangkabau, Kerinci, Enggano, serta Timur. 

Contoh pembagian harta warisan matrilineal, misalnya orang tua meninggal, maka anak perempuan biasanya yang menjadi pewaris. 

3. Parental

Khusus untuk daerah Sumatera Selatan, Riau, Sumatera bagian Timur, dan sekitarnya, pembagian harta warisan akan mempertimbangkan pihak bapak dan ibu. Berarti, baik anak perempuan dan laki-laki bisa mendapatkan warisan yang sama rata.

Dalam asas hukum waris adat, ada beberapa yang menjadi prinsip dan bahan pertimbangan penting. Pertama, pewarisan juga bisa dilakukan ke atas atau ke samping, seperti ke nenek atau saudara.

Kedua, pembagian harta warisan tidak selalu langsung, tapi bisa mendapat penangguhan karena sebab tertentu. Ketiga, bukan hanya anak kandung saja yang bisa mendapat warisan, tetapi juga anak angkat atau adopsi. 

Pembagian Warisan Menurut Hukum Perdata 

Bagi masyarakat Indonesia yang bukan pemeluk agama Islam, biasanya pembagian harta warisan akan mengacu pada hukum negara atau perdata. Hukumnya sendiri berdasarkan Burgerlijk Wetboek yang berlaku sejak 1848, saat masa kolonial. 

Pembagian warisan menurut hukum perdata memiliki ciri utama yaitu tidak membedakan waris perempuan maupun laki-laki. Jadi, jika ahli warisnya adalah anak laki-laki dan perempuan, maka keduanya bernilai setara. 

Selain itu, ahli waris merupakan orang terdekat dari pewaris, seperti anak kandung sedarah atau karena perkawinan. Karena aturan ini, maka pembagiannya biasanya lebih mudah, dan apabila terjadi sengketa penyelesaiannya melalui pengadilan. 

Ahli waris akan mendapat warisan secara pribadi, bukan berkelompok dan namanya disebutkan dalam wasiat. Dalam pembagiannya mengacu pada KUHP perdata yang terdiri dari beberapa golongan:

1. Golongan I

Yang termasuk golongan ini adalah suami atau istri yang ditinggalkan, anak sah sekaligus keturunannya. 

2. Golongan II

Merupakan ayah, ibu, saudara, dan keturunan saudara.

3. Golongan III

Ahli waris yang terdiri dari nenek, kakek, serta saudara yang memiliki garis lurus ke atas. 

4. Golongan IV

Ahli waris yang merupakan saudara dalam garis ke samping. Contohnya, bibi, paman, saudara sepupu, sampai dengan derajat keenam. 

Dalam KUHP Perdata Pasal 838, menerangkan juga kategori orang yang tidak tepat menjadi ahli waris. Meskipun termasuk dalam salah satu empat golongan tadi, maka tetap tidak akan mendapat pembagian harta waris. 

Yang termasuk di dalamnya adalah:

Orang yang mendapat jatuhan hukuman karena membunuh atau merencanakan pembunuhan, dan orang yang meninggal adalah pewaris. 

Orang yang pernah mendapat jatuhan hukuman karena memfitnah pewaris dan melakukan kejahatan hingga mendapat hukuman penjara lima tahun atau lebih berat lagi. 

Orang yang telah menghalangi pewaris yang meninggal dengan kekerasan demi menarik kembali surat pembagian harta warisan. 

Orang yang menggelapkan, memusnahkan, dan atau memalsukan wasiat pewaris yang telah meninggal. 

Menilik Perspektif Pembagian Warisan Menurut Islam

Ahli waris dalam ilmu Fiqih adalah orang yang punya tali persaudaraan dengan orang yang telah meninggal dunia, sehingga berhak mewarisi harta tersebut. 

Termasuk juga orang yang beberapa alasan lain, seperti disebutkan dalam surat wasiat dinyatakan berhak mewarisi harta. Namun, untuk ketentuan wasiat hanya boleh maksimal 1/3 harta warisan, kecuali apabila semua ahli waris menyetujuinya. 

Menurut pasal 171 KHI, ahli waris adalah mereka yang beragama Islam sesuai yang tertera pada Kartu Identitas atau pengakuan, amalan, atau kesaksian. Jika ahli waris adalah bayi yang baru lahir atau anak belum dewasa, beragama sesuai ayahnya. 

KHI juga menjelaskan kelompok ahli waris dalam Islam, antara lain:

1. Sesuai Hubungan Darah 

Kelompok sesuai hubungan darah merupakan golongan laki-laki, yang termasuk adalah ayah, anak dan saudara laki-laki, paman, serta kakek. 

Selain itu untuk golongan perempuan adalah dari ibu, anak dan saudara perempuan, serta nenek. 

2. Sesuai Hubungan Perkawinan 

Ada juga golongan sesuai hubungan perkawinan yang merupakan duda maupun janda. 

Aturan Besaran Bagian Warisan dalam Islam  

Dalam aturan KHI juga menjelaskan besaran bagian untuk ahli waris, ketika ayah ibu meninggal, atau suami/ istri yang meninggal. Maka, pembagian besarannya adalah berikut:

1. Ahli Waris Anak 

Apabila pewaris memiliki anak tunggal perempuan, maka warisannya adalah setengah bagian (½). Pembagian harta warisan jika semua anak perempuan yang berjumlah dua atau lebih maka akan mendapatkan dua pertiga bagian (⅔). 

Apabila salah satunya adalah anak laki-laki, maka akan mendapat dua kali lipat dari anak perempuan. Artinya pembagiannya adalah 2:1. 

2. Ahli Waris Ayah 

Dalam kasus pewaris ternyata tidak memiliki anak, maka ayah akan mendapatkan sepertiga bagian (⅓). Namun, ayah akan mendapatkan seperenam (⅙) bagian jika pewaris memiliki anak. 

3. Ahli Waris Ibu 

Apabila pewaris tidak memiliki anak dan saudara lebih dari dua orang, maka ibu akan mendapatkan sepertiga bagian (⅓).

Tapi, jika pewaris memiliki anak atau dua saudara bahkan lebih, ibu akan mendapatkan seperenam bagian (⅙).

Ibu juga akan mendapatkan sepertiga (⅓) bagian dari sisa warisan yang telah diambil janda (istri) atau duda (suami) apabila bersama-sama dengan ayah.

4. Ahli Waris Duda 

Ketika pewaris tidak memiliki anak, maka duda bisa mendapatkan setengah bagian (½). Namun, jika terdapat anak, duda akan mendapatkan seperempat bagian (¼). 

5. Ahli Waris Janda 

Jika ahli waris adalah janda dan tidak memiliki anak, maka akan mendapatkan seperempat bagian (¼). Apabila terdapat anak, maka janda akan mendapatkan seperdelapan bagian (⅛).

Sangat penting untuk menghitung warisan menurut hukum Islam. Perlu adanya identifikasi semua ahli waris, mengklasifikasi total harta warisan, membaginya sesuai syariat, dan mempertimbangkan keberadaan ahli waris.

Dengan memahami pembagian harta warisan, Anda tentunya bisa lebih bijak untuk menangani masalah ini. Apalagi, jika sewaktu-waktu dalam keluarga memiliki permasalahan yang sama, sebaiknya tentukan dulu hukumnya sebagai acuan.
Artikel Pembagian Harta Warisan Menurut Adat, Perdata dan Syariat
© 2022 JadiPaham. All Rights Reserved
Website by IKT
whatsapp